Pemateri : Achmad Charris Zubair
DIALOG IDRIS DENGAN IBLIS
IBLIS: Idris percayakah engkau bahwa Tuhan Maha Kuasa?
IDRIS: Tentu saja aku percaya!
IBLIS: Kalau Tuhan Maha Kuasa, Kuasakah Tuhan memasukkan alam semesta seluruhnya, ke dalam sebutir telur?
Bagaimana kira-kira jawaban Idris dan bagaimana jawaban anda?
Struktur Pengetahuan Manusia
IBLIS: Idris percayakah engkau bahwa Tuhan Maha Kuasa?
IDRIS: Tentu saja aku percaya!
IBLIS: Kalau Tuhan Maha Kuasa, Kuasakah Tuhan memasukkan alam semesta seluruhnya, ke dalam sebutir telur?
Bagaimana kira-kira jawaban Idris dan bagaimana jawaban anda?
Struktur Pengetahuan Manusia
Karakteristik struktur tsb. adalah sbb.:
Masing-masing struktur tidak berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi saling melengkapi dan bersifat komplementer.
Struktur alat semakin ke atas semakin mampu menangkap keutuhan realitas, semakin ke bawah semakin terbatas.
Struktur realitas, semakin ke atas semakin rumit dan lengkap, semakin ke bawah semakin sederhana.
Struktur keilmuan semakin ke atas memiliki konsekuensi metodologis kualitatif dan ke bawah semakin kuantitatif.
Alat-alat ManusiaDalam Menangkap Realitas (1)
Indera dapat disebut sebagai pintu gerbang pertama yang mengantarkan manusia berpengetahuan
Naluri merupakan kekuatan yang dimiliki oleh seluruh makhluk biologis. Naluri pada dasarnya merupakan kekuatan untuk mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupan biologis kemakhlukan
Rasio menjadi kekuatan yang penting bagi hidup manusia, karena menjadi batas pembeda bagi makhluk tingkat rendah biologis-jasmaniah dengan makhluk manusia. Rasio bertugas memahami hukum alam atau sunatullah, dikembangkan menjadi logika
Alat-alat ManusiaDalam Menangkap Realitas (2)
Imajinasi merupakan kekuatan khas manusia yang lain yang sering disebut sebagai anugerah alam dan anugerah tuhan (a gift of nature and a gift of god). Dengan tahapan: onerik, estetik, kreatif, abstraktif, simbolik, intuitif.
Hati nurani merupakan kemampuan manusiawi lain yang bertugas mengantarkan pemahaman dan membangun kesadaran akan martabat manusia sebagai makhluk spiritual.
Alat untuk memahami kebenaran dan alat untuk mengembangkan ilmu tidak sekedar rasionalitas manusia, melainkan seluruh potensi kemanusiaan yang harus secara sungguh-sungguh dioptimalisasikan
Memang rasio merupakan alat yang penting dan menjadi tanda keteraturan berpikir dalam pengembangan ilmu pengetahuan empirik karena sifat dasar kemampuannya, namun yang disebut ilmiah, bukan hanya yang bersifat rasional melainkan juga yang melibatkan imajinasi-intuisi dan hati nurani bahkan seluruh potensi kemanusiaan
Tahapan Realitas Sebagai Objek Material Ilmu Pengetahuan Manusia
Pengetahuan manusia diperoleh sesudah "tabir" yang menutup realitas telah tersingkap
dimulai dari yang bersifat permukaan dan sederhana sampai dengan pengetahuan ilmiah yang didasarkan atas kaidah-kaidah keilmuan sesuai dengan objek formal (sudut pandang) maupun objek material (bahan kajian) ilmu tertentu
Realitas paling "rendah" adalah benda-benda fisiko kemis
Tahapan lebih lanjut dari realitas adalah makhluk biologis
Di atas tahapan makhluk biologis ada dunia manusia atau realitas human
Upaya keilmuan adalah upaya yang secara sistematik dilakukan manusia, dengan struktur yang tertata, mengoptimalisasikan seluruh potensi kemanusiaan dan menggunakan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan tahapan realitas tersebut
Tingkat-tingkatIlmu Pengetahuan
Struktur alat tidak dapat dipisahkan dengan struktur realitas yang juga bertata jenjang dan merupakan objek material pengetahuan manusia
tata jenjang kebenaran tercermin dalam struktur pengetahuan manusia
empat taraf: fisiko-kemis, bios atau hidup jasmaniah, psikis atau hidup kejiwaan, human atau kemanusiaan utuh, dan realitas transenden
Dari segi metodologis, kita menangkap adanya isyarat bahwa metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan tertentu tergantung dari sudut tinjauan atau objek formal serta objek material dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan
Mendekati Eksistensi TUHAN
Persoalan eksistensi Tuhan paling krusial dalam Filsafat Ilmu. Di satu sisi eksistensi Tuhan dianggap sebagai kebenaran mutlak dan tertinggi, namun pemahaman tentang kebenarannya di sisi lain didasarkan atas keyakinan dogmatik yang bersifat tertutup.
Kalau ilmu merupakan upaya manusia untuk membuka tabir realitas dan menemukan kebenaran, tentunya Tuhan sebagai realitas pun harus dapat di"temu"kan dengan ilmu.
Tentu harus ditentukan lebih dahulu alat-alat kemanusiaan yang digunakan, cara pendekatan serta metode yang tepat untuk itu.
"Apa dan SIAPAkah Tuhan itu?"
Kebanyakan dijawab dengan "Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempurna tanpa batas".
Tidak heran jika konsep itu kurang bermakna
Revisi definisi "Ilmiah"
Pengertian dan definisi tentang pemahaman ilmiah harus direvisi. Pemisahan dikotomis antara ilmu tentang sesuatu yang konkret-empirik dan kemudian disebut ilmiah karena rasional dengan ilmu tentang sesuatu yang bersifat human bahkan transenden, yang sering disebut tidak ilmiah, harus digugat.
Nasib dan Takdir
Pengetahuan tentang Tuhan sering bersifat dogmatik, itu tidak dapat terlepas dari realitas kemanusiaan yang bersifat tergantung atas nasib tak tertolak dan niscaya. Dalam kehidupan manusia nasib dan takdir menjadi bagian yang paling misterius. Seberapa jauh ikhtiar manusia dapat mengubah nasib, seberapa jauh pula usaha hanya menghasilkan kesia-siaan.
Ruang Waktu Manusia
Bagaimana pun manusia dibatasi oleh kesementaraan hidupnya di dunia. Manusia, baik secara individual maupun secara komunitas, pasti berawal dan berakhir.
Waktu yang dimiliki dan dihayati manusia menjadi sangat relatif, artinya menjadi sesuatu yang harus dihubungkan dengan kondisi-kondisi terutama matra ruang. Sementara di lain pihak, manusia "harus" pula menghayati waktu illahiyah yang bersifat abadi.
Waktu ILLAHIYAH
Waktu illahiyah secara total akan memuat segala sesuatu yang berada dalam dimensi kemanusiaan, yang disebut sebagai waktu lampau, kini dan yang akan datang. Kesadaran ini akan dapat dikembangkan sebagai pendekatan keilmuan bagi manusia memahami eksistensi Tuhan sebagai realitas kebenaran tertinggi.
Kita memahami waktu kemarin, kini dan esok, karena kita berada di ruang yang bernama bumi dengan peredarannya, kita bayangkan bagaimana seandainya "ruang" bumi yang kita sadari tiba-tiba musnah. Pertanyaannya di mana waktu pada situasi semacam itu, waktu menjadi sebuah rentang tak terbatas dan tak terukur.
Kekinian Tuhan adalah keabadian. Manusia berelasi dengan Tuhan, bermakna; manusia secara relasional-kekinian dependen terhadap keabadian Tuhan. Di sini waktu Tuhan mengatasi waktu dalam dimensi manusia.
Otonomi manusia tidak terlepas dari realitas kesemestaan manusia sebagai makhluk jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Salah satu dari keduanya harus diberi prioritas ontologis.
Otonomi manusia tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk yang mengatasi dimensi jasmaniahnya. Realitas kesemestaan menunjukkan bahwa jasmaniah dengan konsekuensi logisnya, seiring waktu akan semakin rapuh. Demikian pula dengan pengada-pengada jasmaniah yang lain. Di pihak lain dimensi ruhaniah sudah seharusnya semakin kuat.
Pusat realitas adalah manusia, realitas paling jelas dan eksplisit ditemukan dalam eksistensi pribadinya. Dunia infra human yang dependen menunjukkan struktur ontologis yang sederhana, material dan cenderung didominasi dimensi jasmaniah.
Dunia manusia yang otonom menunjukkan adanya struktur ontologis yang lebih rumit, spiritual dan cenderung ke arah dimensi ruhaniah.
Di atas manusia dan dunia realitas menjulang satu puncak kesempurnaan dan tentu saja paling otonom, yakni Allah.
Otonomi manusia merupakan usaha untuk meraih derajat kesempurnaan itu sebagai titik ideal, yang menurut Teilhard de Chardin disebut "titik omega". Namun dalam kenyataannya, manusia hanya dapat menggapai dan tidak pernah dapat merengkuh kesempurnaan itu dalam pangkuannya.
Anton Bakker menggambarkan dalam pernyataan : "Setiap kali manusia manusia berefleksi atas diri dan dunianya, ia membuat onthelan ke arah dimensi transenden".
Dalam istilah Islam proses pencapaian ke titik kesempurnaan itu disebut mi’raj untuk mencapai insan kamil, kondisi yang memungkinkan manusia "mengenal" Allah.
Persoalan kita adalah melakukan upaya reflektif atau bahasa Teilhard de Chardin membangun kesadaran di tengah kompleksitas kita. Seberapa jauh kita menemukan makna otonomi dalam diri kita sebagai manusia. Sejauhmana kita telah melepaskan diri dari dependensi sebagai bagian dari kemakhlukan justru dengan melalui daya otonomi yang secara khas hanya dimiliki oleh manusia.
Mulla Shadra (1571-1640): makin tinggi perwujudan sesuatu dalam skala realitas, makin jelas ia dalam ketunggalannya. Karena yang ada (maujud, eksisten) itu pada dasarnya merupakan gabungan berbagai ide yang rasional dan sempurna. Demikian pula sebaliknya, makin rendah suatu maujud dalam jenjang realitas, makin beranekalah ia dalam bentuk dan pola keberadaannya. Perwujudannya akan menampakkan ragam rupa yang berbeda-beda dan dalam setiap penampakan itu, ia hanya akan menjadi noktah kecil yang kabur
Yang sungguh-sungguh eksis mutlak hanyalah Tuhan, sedangkan yang lain merupakan pantulan dari cahaya eksistensi Nya.
Sejalan dengan teori evolusinya Teilhard de Chardin, Shadra melihat adanya gerakan konstan setiap eksisten dari satu pola eksistensi dalam spektrum realitas ke pola yang lain, yang disebutnya sebagai penyadaran dan pemberdayaan eksisten secara progresif
Menurut Shadra, tingkatan eksisten yang lebih tinggi berasal dari yang lebih rendah, sedangkan tingkatan eksisten yang tertinggi, yakni Tuhan, identik dengan Wujud (Eksisten Besar) itu sendiri yang tidak bisa dikenali melalui kata-kata dan tanda-tanda apa pun.
Persoalannya apakah Tuhan berasal dari tingkatan yang rendah? Ketika manusia menandai dan mengenali Tuhan sebagai sebuah eksisten, cara pengenalan semacam itu hanya berlaku pada tingkatan eksisten yang rendah.
Makin rendah taraf realitas, makin mudah kita mendefinisikan individu-individu realitas tersebut. Dengan mudah pula kita bisa menerapkan proposisi dan sifat universal pada masing-masing hal tersebut. Sebaliknya semakin tinggi taraf realitas suatu eksisten semakin sulit pula bagi kita untuk mempersepsi hakikat-substansinya
Ibn Sina: Tuhan dan alam semesta tidak dibahas sebagai dua hal yang terpisah. Tanpa Tuhan tidak akan ada alam. alam adalah hasil kontemplasi Tuhan terhadap Diri-Nya sendiri. Kaidah ini juga berarti bahwa tanpa penciptaan alam, tidak akan ada tindak kontemplasi Tuhan. Karenanya, tidak perlu ada pernyataan tentang "keputusan atau kehendak menciptakan alam", seolah-olah Tuhan mempunyai pilihan lain dalam hal ini. Pilihan Tuhan dalam hal ini tak lebih banyak daripada pilihan seorang ahli logika untuk sampai pada kesimpulan yang tepat dengan mengikuti silogisme yang tepat pula.
Optimalisasi potensi kemanusiaan akan mengantarkan manusia menemukan kebenaran. Apabila seluruhnya digunakan: mulai dari indera, naluri, rasionalitas, hati nurani dan imajinasi-intuisi, maka pada dasarnya kita sampai pada kondisi yang sering disebut oleh kaum mistik sebagai manusia sempurna (al-insan al-kamil). Sehingga persoalannya memang pada tidak tepatnya manusia "modern" mendefinisikan ilmu pengetahuan.
Manusia sempurna menampilkan sifat-sifat Allah sejauh yang mungkin dipikul oleh manusia, sampai pada batas yang paling memungkinkan di alam fana ini. Tugasnya berperan menjembatani jurang yang memisahkan manusia dengan Tuhan, membantu manusia menempuh jarak antara kehidupan ini dan kehidupan mendatang di dalam alam realitas.
Oliver Leaman: ilmu pengetahuan yang dijabarkan ulang dan dipraktekkan dengan benar, akan membuat tersingkapnya tabir yang menutup kebenaran Allah atau dalam terminologi mistik Islam disebut kasyf. Istilah ini secara indah memperlihatkan bahwa manusia yang sungguh-sungguh menggunakan akal pikirannya mencapai kebenaran dengan menyingkapkan hijab-hijab yang melapisi realitas lahiriah sampai ke sukma kebenaran.
Sudah tentu kesulitannya pada jenis bahasa kita yang terletak dan hanya mampu menyentuh pada permukaan sehingga tak bisa melukiskan pengalaman yang terjadi tatkala aspek-aspek permukaan telah terkuak.
Contoh yang sederhana, bagaimana bahasa mampu menyingkapkan cinta dalam pengertian yang substansial? Ini menguatkan bukti pentingnya kemampuan imajinasi abstraksi, sebab hanya dengan bahasa simbollah realitas tidak terbatas dapat "terwadahi".
WASANA KATA
Sudah saatnya kebenaran Tuhan yang diterima dengan rasa cemas berlebihan, sebab banyak teologi dan ideologi disebarluaskan dengan menimbulkan ketakutan-ketakutan pada banyak orang, digantikan dengan kebenaran Tuhan yang diterima dengan akal yang jernih.
Citra Tuhan yang kejam, pemilik neraka dan suka menyiksa, serta "pendendam", harus diganti dengan gambaran Tuhan yang indah dan penuh cinta. Sehingga tiba saat di mana kebenaran yang dicapai oleh ilmu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dapat diraih oleh iman, karena pada dasarnya jalan yang ditempuh pun tidak berbeda dan tujuan puncak kebenarannya juga tidak berbeda.
MATUR NUWUN
Masing-masing struktur tidak berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi saling melengkapi dan bersifat komplementer.
Struktur alat semakin ke atas semakin mampu menangkap keutuhan realitas, semakin ke bawah semakin terbatas.
Struktur realitas, semakin ke atas semakin rumit dan lengkap, semakin ke bawah semakin sederhana.
Struktur keilmuan semakin ke atas memiliki konsekuensi metodologis kualitatif dan ke bawah semakin kuantitatif.
Alat-alat ManusiaDalam Menangkap Realitas (1)
Indera dapat disebut sebagai pintu gerbang pertama yang mengantarkan manusia berpengetahuan
Naluri merupakan kekuatan yang dimiliki oleh seluruh makhluk biologis. Naluri pada dasarnya merupakan kekuatan untuk mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupan biologis kemakhlukan
Rasio menjadi kekuatan yang penting bagi hidup manusia, karena menjadi batas pembeda bagi makhluk tingkat rendah biologis-jasmaniah dengan makhluk manusia. Rasio bertugas memahami hukum alam atau sunatullah, dikembangkan menjadi logika
Alat-alat ManusiaDalam Menangkap Realitas (2)
Imajinasi merupakan kekuatan khas manusia yang lain yang sering disebut sebagai anugerah alam dan anugerah tuhan (a gift of nature and a gift of god). Dengan tahapan: onerik, estetik, kreatif, abstraktif, simbolik, intuitif.
Hati nurani merupakan kemampuan manusiawi lain yang bertugas mengantarkan pemahaman dan membangun kesadaran akan martabat manusia sebagai makhluk spiritual.
Alat untuk memahami kebenaran dan alat untuk mengembangkan ilmu tidak sekedar rasionalitas manusia, melainkan seluruh potensi kemanusiaan yang harus secara sungguh-sungguh dioptimalisasikan
Memang rasio merupakan alat yang penting dan menjadi tanda keteraturan berpikir dalam pengembangan ilmu pengetahuan empirik karena sifat dasar kemampuannya, namun yang disebut ilmiah, bukan hanya yang bersifat rasional melainkan juga yang melibatkan imajinasi-intuisi dan hati nurani bahkan seluruh potensi kemanusiaan
Tahapan Realitas Sebagai Objek Material Ilmu Pengetahuan Manusia
Pengetahuan manusia diperoleh sesudah "tabir" yang menutup realitas telah tersingkap
dimulai dari yang bersifat permukaan dan sederhana sampai dengan pengetahuan ilmiah yang didasarkan atas kaidah-kaidah keilmuan sesuai dengan objek formal (sudut pandang) maupun objek material (bahan kajian) ilmu tertentu
Realitas paling "rendah" adalah benda-benda fisiko kemis
Tahapan lebih lanjut dari realitas adalah makhluk biologis
Di atas tahapan makhluk biologis ada dunia manusia atau realitas human
Upaya keilmuan adalah upaya yang secara sistematik dilakukan manusia, dengan struktur yang tertata, mengoptimalisasikan seluruh potensi kemanusiaan dan menggunakan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan tahapan realitas tersebut
Tingkat-tingkatIlmu Pengetahuan
Struktur alat tidak dapat dipisahkan dengan struktur realitas yang juga bertata jenjang dan merupakan objek material pengetahuan manusia
tata jenjang kebenaran tercermin dalam struktur pengetahuan manusia
empat taraf: fisiko-kemis, bios atau hidup jasmaniah, psikis atau hidup kejiwaan, human atau kemanusiaan utuh, dan realitas transenden
Dari segi metodologis, kita menangkap adanya isyarat bahwa metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan tertentu tergantung dari sudut tinjauan atau objek formal serta objek material dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan
Mendekati Eksistensi TUHAN
Persoalan eksistensi Tuhan paling krusial dalam Filsafat Ilmu. Di satu sisi eksistensi Tuhan dianggap sebagai kebenaran mutlak dan tertinggi, namun pemahaman tentang kebenarannya di sisi lain didasarkan atas keyakinan dogmatik yang bersifat tertutup.
Kalau ilmu merupakan upaya manusia untuk membuka tabir realitas dan menemukan kebenaran, tentunya Tuhan sebagai realitas pun harus dapat di"temu"kan dengan ilmu.
Tentu harus ditentukan lebih dahulu alat-alat kemanusiaan yang digunakan, cara pendekatan serta metode yang tepat untuk itu.
"Apa dan SIAPAkah Tuhan itu?"
Kebanyakan dijawab dengan "Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempurna tanpa batas".
Tidak heran jika konsep itu kurang bermakna
Revisi definisi "Ilmiah"
Pengertian dan definisi tentang pemahaman ilmiah harus direvisi. Pemisahan dikotomis antara ilmu tentang sesuatu yang konkret-empirik dan kemudian disebut ilmiah karena rasional dengan ilmu tentang sesuatu yang bersifat human bahkan transenden, yang sering disebut tidak ilmiah, harus digugat.
Nasib dan Takdir
Pengetahuan tentang Tuhan sering bersifat dogmatik, itu tidak dapat terlepas dari realitas kemanusiaan yang bersifat tergantung atas nasib tak tertolak dan niscaya. Dalam kehidupan manusia nasib dan takdir menjadi bagian yang paling misterius. Seberapa jauh ikhtiar manusia dapat mengubah nasib, seberapa jauh pula usaha hanya menghasilkan kesia-siaan.
Ruang Waktu Manusia
Bagaimana pun manusia dibatasi oleh kesementaraan hidupnya di dunia. Manusia, baik secara individual maupun secara komunitas, pasti berawal dan berakhir.
Waktu yang dimiliki dan dihayati manusia menjadi sangat relatif, artinya menjadi sesuatu yang harus dihubungkan dengan kondisi-kondisi terutama matra ruang. Sementara di lain pihak, manusia "harus" pula menghayati waktu illahiyah yang bersifat abadi.
Waktu ILLAHIYAH
Waktu illahiyah secara total akan memuat segala sesuatu yang berada dalam dimensi kemanusiaan, yang disebut sebagai waktu lampau, kini dan yang akan datang. Kesadaran ini akan dapat dikembangkan sebagai pendekatan keilmuan bagi manusia memahami eksistensi Tuhan sebagai realitas kebenaran tertinggi.
Kita memahami waktu kemarin, kini dan esok, karena kita berada di ruang yang bernama bumi dengan peredarannya, kita bayangkan bagaimana seandainya "ruang" bumi yang kita sadari tiba-tiba musnah. Pertanyaannya di mana waktu pada situasi semacam itu, waktu menjadi sebuah rentang tak terbatas dan tak terukur.
Kekinian Tuhan adalah keabadian. Manusia berelasi dengan Tuhan, bermakna; manusia secara relasional-kekinian dependen terhadap keabadian Tuhan. Di sini waktu Tuhan mengatasi waktu dalam dimensi manusia.
Otonomi manusia tidak terlepas dari realitas kesemestaan manusia sebagai makhluk jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Salah satu dari keduanya harus diberi prioritas ontologis.
Otonomi manusia tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk yang mengatasi dimensi jasmaniahnya. Realitas kesemestaan menunjukkan bahwa jasmaniah dengan konsekuensi logisnya, seiring waktu akan semakin rapuh. Demikian pula dengan pengada-pengada jasmaniah yang lain. Di pihak lain dimensi ruhaniah sudah seharusnya semakin kuat.
Pusat realitas adalah manusia, realitas paling jelas dan eksplisit ditemukan dalam eksistensi pribadinya. Dunia infra human yang dependen menunjukkan struktur ontologis yang sederhana, material dan cenderung didominasi dimensi jasmaniah.
Dunia manusia yang otonom menunjukkan adanya struktur ontologis yang lebih rumit, spiritual dan cenderung ke arah dimensi ruhaniah.
Di atas manusia dan dunia realitas menjulang satu puncak kesempurnaan dan tentu saja paling otonom, yakni Allah.
Otonomi manusia merupakan usaha untuk meraih derajat kesempurnaan itu sebagai titik ideal, yang menurut Teilhard de Chardin disebut "titik omega". Namun dalam kenyataannya, manusia hanya dapat menggapai dan tidak pernah dapat merengkuh kesempurnaan itu dalam pangkuannya.
Anton Bakker menggambarkan dalam pernyataan : "Setiap kali manusia manusia berefleksi atas diri dan dunianya, ia membuat onthelan ke arah dimensi transenden".
Dalam istilah Islam proses pencapaian ke titik kesempurnaan itu disebut mi’raj untuk mencapai insan kamil, kondisi yang memungkinkan manusia "mengenal" Allah.
Persoalan kita adalah melakukan upaya reflektif atau bahasa Teilhard de Chardin membangun kesadaran di tengah kompleksitas kita. Seberapa jauh kita menemukan makna otonomi dalam diri kita sebagai manusia. Sejauhmana kita telah melepaskan diri dari dependensi sebagai bagian dari kemakhlukan justru dengan melalui daya otonomi yang secara khas hanya dimiliki oleh manusia.
Mulla Shadra (1571-1640): makin tinggi perwujudan sesuatu dalam skala realitas, makin jelas ia dalam ketunggalannya. Karena yang ada (maujud, eksisten) itu pada dasarnya merupakan gabungan berbagai ide yang rasional dan sempurna. Demikian pula sebaliknya, makin rendah suatu maujud dalam jenjang realitas, makin beranekalah ia dalam bentuk dan pola keberadaannya. Perwujudannya akan menampakkan ragam rupa yang berbeda-beda dan dalam setiap penampakan itu, ia hanya akan menjadi noktah kecil yang kabur
Yang sungguh-sungguh eksis mutlak hanyalah Tuhan, sedangkan yang lain merupakan pantulan dari cahaya eksistensi Nya.
Sejalan dengan teori evolusinya Teilhard de Chardin, Shadra melihat adanya gerakan konstan setiap eksisten dari satu pola eksistensi dalam spektrum realitas ke pola yang lain, yang disebutnya sebagai penyadaran dan pemberdayaan eksisten secara progresif
Menurut Shadra, tingkatan eksisten yang lebih tinggi berasal dari yang lebih rendah, sedangkan tingkatan eksisten yang tertinggi, yakni Tuhan, identik dengan Wujud (Eksisten Besar) itu sendiri yang tidak bisa dikenali melalui kata-kata dan tanda-tanda apa pun.
Persoalannya apakah Tuhan berasal dari tingkatan yang rendah? Ketika manusia menandai dan mengenali Tuhan sebagai sebuah eksisten, cara pengenalan semacam itu hanya berlaku pada tingkatan eksisten yang rendah.
Makin rendah taraf realitas, makin mudah kita mendefinisikan individu-individu realitas tersebut. Dengan mudah pula kita bisa menerapkan proposisi dan sifat universal pada masing-masing hal tersebut. Sebaliknya semakin tinggi taraf realitas suatu eksisten semakin sulit pula bagi kita untuk mempersepsi hakikat-substansinya
Ibn Sina: Tuhan dan alam semesta tidak dibahas sebagai dua hal yang terpisah. Tanpa Tuhan tidak akan ada alam. alam adalah hasil kontemplasi Tuhan terhadap Diri-Nya sendiri. Kaidah ini juga berarti bahwa tanpa penciptaan alam, tidak akan ada tindak kontemplasi Tuhan. Karenanya, tidak perlu ada pernyataan tentang "keputusan atau kehendak menciptakan alam", seolah-olah Tuhan mempunyai pilihan lain dalam hal ini. Pilihan Tuhan dalam hal ini tak lebih banyak daripada pilihan seorang ahli logika untuk sampai pada kesimpulan yang tepat dengan mengikuti silogisme yang tepat pula.
Optimalisasi potensi kemanusiaan akan mengantarkan manusia menemukan kebenaran. Apabila seluruhnya digunakan: mulai dari indera, naluri, rasionalitas, hati nurani dan imajinasi-intuisi, maka pada dasarnya kita sampai pada kondisi yang sering disebut oleh kaum mistik sebagai manusia sempurna (al-insan al-kamil). Sehingga persoalannya memang pada tidak tepatnya manusia "modern" mendefinisikan ilmu pengetahuan.
Manusia sempurna menampilkan sifat-sifat Allah sejauh yang mungkin dipikul oleh manusia, sampai pada batas yang paling memungkinkan di alam fana ini. Tugasnya berperan menjembatani jurang yang memisahkan manusia dengan Tuhan, membantu manusia menempuh jarak antara kehidupan ini dan kehidupan mendatang di dalam alam realitas.
Oliver Leaman: ilmu pengetahuan yang dijabarkan ulang dan dipraktekkan dengan benar, akan membuat tersingkapnya tabir yang menutup kebenaran Allah atau dalam terminologi mistik Islam disebut kasyf. Istilah ini secara indah memperlihatkan bahwa manusia yang sungguh-sungguh menggunakan akal pikirannya mencapai kebenaran dengan menyingkapkan hijab-hijab yang melapisi realitas lahiriah sampai ke sukma kebenaran.
Sudah tentu kesulitannya pada jenis bahasa kita yang terletak dan hanya mampu menyentuh pada permukaan sehingga tak bisa melukiskan pengalaman yang terjadi tatkala aspek-aspek permukaan telah terkuak.
Contoh yang sederhana, bagaimana bahasa mampu menyingkapkan cinta dalam pengertian yang substansial? Ini menguatkan bukti pentingnya kemampuan imajinasi abstraksi, sebab hanya dengan bahasa simbollah realitas tidak terbatas dapat "terwadahi".
WASANA KATA
Sudah saatnya kebenaran Tuhan yang diterima dengan rasa cemas berlebihan, sebab banyak teologi dan ideologi disebarluaskan dengan menimbulkan ketakutan-ketakutan pada banyak orang, digantikan dengan kebenaran Tuhan yang diterima dengan akal yang jernih.
Citra Tuhan yang kejam, pemilik neraka dan suka menyiksa, serta "pendendam", harus diganti dengan gambaran Tuhan yang indah dan penuh cinta. Sehingga tiba saat di mana kebenaran yang dicapai oleh ilmu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dapat diraih oleh iman, karena pada dasarnya jalan yang ditempuh pun tidak berbeda dan tujuan puncak kebenarannya juga tidak berbeda.
MATUR NUWUN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar